Sebuah kabar yang sangat mencengangan terjadi di Kabupaten Ponorogo, banyak remaja usia sekolah yang mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA) setempat. Peningkatan permohonan dispensasi nikah ini menurut Kepala Dinas Sosial Supriyadi, tidak semuanya karena hamil di luar nikah. Ada juga dari mereka yang tidak melanjutkan sekolah setingkat SMA dan mengajukan dispensasi nikah ini.
Meskipun demikian, fakta ini tentu menjadi sebuah keresahan tersendiri bagi kita. Salah satunya ialah apa penyebab peristiwa ini terjadi dan siapa yang salah dalam hal ini ?
Faktor Penyebab
Ketika menggambarkan faktor penyebab tingginya permintaan dispensasi nikah dini ini, tidak bisa kita hanya menyalahkan satu faktor saja. Banyak faktor yang saling berkelindan dan ikut andil dalam peningkatan permintaan dispensasi ini. Namun untuk kali ini, kita hanya berusaha melihat dari segi guru, ustaz atau pembimbing remaja-remaja tersebut.
Sebagai guru, ustaz atau pembimbing tentu kita sudah mengajarkan hal-hal yang baik kepada mereka. Salah satunya ialah tentu kita sudah menjelaskan kepada mereka bahaya pergaulan bebas, zina atau hubungan badan sebelum menikah dari segi agama maupun sosial yang berujung pada dispensasi pernikahan dini. Semua kurikulum yang ada pasti mengarah ke pembahasan itu. Terlebih bagi guru agama, banyak sekali ayat yang secara nash (jelas) mengatakan bahwa zina itu haram bahkan berujung hukuman rajam maupun cambuk 100 kali bagi yang belum menikah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat 32 dari surat Al Isra berikut :
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلأ
“Dan janganlah kalian mendekati zina. Hal itu karena ia adalah suatu hal yang keji dan sangat buruk jalannya.”
Nyatanya, di taraf praktek, hal itu tidak berjalan dengan baik. Ketika di kelas, guru menerangkan bahaya pergaulan bebas namun di sisi lain ketika di luar kelas, ia mempromosikan pacaran bahkan sampai pada taraf mendukung dan memfasilitasi hal itu. Mulai dari sering menjodohkan antar murid, mengiyakan apabila ada yang pacaran sampai mengejek salah satu murid ketika ia belum memiliki pacar.
Tentu fakta seperti ini sangat menyedihkan. Sebagai seorang guru, ia wajib menjadi contoh dan uswatun hasanah bagi para muridnya. Materi yang diajarkan di kelas tidak akan maksimal diserap ilmunya oleh murid apabila tidak ada contoh baik yang diberikan oleh guru. Untuk mengingatkan hal ini, Allah Swt. berkalam di ayat 2 dan 3 dari surat Ash Shaff :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ () كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian tidak lakukan. Sangat besar amarah Allah apabila kalian mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan.”
Kiai dan Gula
Terdapat sebuah kisah menarik tentang bagaimana seseorang yang memerintahkan sesuatu namun tidak melakukan, sangat berimbas kepada murid atau orang yang dinasehati.
Suatu saat, ada sepasang orang tua yang sangat resah dengan anaknya. Anak kedua orang tua tersebut gemar untuk mengkonsumsi gula hingga ia kecanduan dengan gulanya. Tentu apabila seorang anak terlalu banyak mengkonsumsi gula, akan berimbas tidak baik dengan kesehatannya kelak. Orang tua tersebut akhirnya mendatangi salah seorang Kiai dengan tujuan meminta nasehat atas apa yang dialaminya dengan sang anak. Sesampainya di rumah Kiai dan menceritakan apa yang ia alami, sang Kiai bertanya,”Apakah kamu mengkonsumi kopi tiap hari ?”
“Betul, Kiai.” Jawab sang ayah.
“Apakah ibu juga mengkonsumi kopi ?” Kiai kembali bertanya.
“Nggih, Kiai.” Jawab ibu singkat.
“Apakah ketika mengkonsumi kopi, kalian berdua menambahkan gula di dalamnya ?” Tanya Kiai kembali.
“Betul, Kiai.”
“Oh kalau begitu, setelah satu minggu kamu bawa kembali anakmu ke sini.” Perintah Kiai menutup pembicaraan.
Setelah satu minggu akhirnya kedua orang tua itu datang lagi ke Kiai dan tak lupa untuk membawa anak mereka yang kecanduan gula. Sesampainya di hadapan Kiai, sang Kiai berkata kepada anak tersebut,”Le, kamu jangan suka makan gula lagi. Itu gak baik kalau terlalu banyak.”
“Nggih, Kiai.” Jawab singkat sang anak.
Setelah berbincang agak lama dengan sang Kiai, akhirnya kedua orang tua dan anak tersebut berpamitan pulang.
Satu minggu berlalu. Selama satu minggu itu pula, sang anak sama sekali tidak mengkonsumi gula. Kedua orang tua itu pun terheran-heran dengan sang Kiai. Hanya menasehati,”Jangan makan gula lagi ya,” kok bisa anaknya langsung berhenti konsumsi gula. Padahal, ketika yang menasehati ialah orang tuanya, anak itu sama sekali tidak menggubris. Penarasan dengan rahasia mengapa petuah Kiai itu bisa semanjur itu, kedua orang tua itu kembali datang ke rumah sang Kiai dan bertanya rahasia di balik itu semua.
Alih-alih menjawab pertanyaan kedua orang tua itu, sang Kiai bahkan balik bertanya,”Anak kalian sudah berhenti dari makan gula kan ? “
“Nggih, Kiai” jawab kedua orang tua itu kompak.
“Rahasianya adalah setelah saya mendengarkan keluh kesah kalian berdua, akhirnya saya berusaha selama satu minggu itu untuk tidak makan gula sama sekali. Saya tetap minum kopi sebagaimana biasa, namun saya tidak menambahkan gula di kopi itu. Itu lah mengapa ketika anak kalian saya nasehati langsung nurut. Sebelum kalian menjadi orang yang memerintah, hendaknya menjadi pertama orang yang melakukan.”
Nasehat kiai panjang. Sekelumit cerita itu memberikan gambaran kepada kita, bahwa sebagai orang yang berprofesi sebagai pendidik, hendaknya memberikan contoh yang baik. Dengan contoh itu, murid akan bisa meniru dan bisa mempraktekan di keseharian mereka. Diharapkan dengan adanya contoh yang baik ini, permintaan dispensasi menikah akan menurun atau bahkan hilang sama sekali.

Ustadz di PPTQ Ahmad Dahlan Caruban